Persepsi dan Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dimiliki dan dipegang teguh dalam sebuah kelompok lingkungan dan diwariskan dari masa ke masa, generasi ke generasi. Menurut Kamus besar bahasa indonesia kata ‘budaya’ utamanya didefinisikan sebagai akal budi, hal ini mengacu pada serapan yang diambil dari bahasa sansekerta ‘buddayah’ , yang merupakan bentuk jamak dari ‘buddhi’, yang berarti akal. Dengan demikian, kebudayaan berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal. Selanjutnya KBBI mendefinisikan budaya sebagai sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah, dengan demikian jelas bahwa sesuatu yang disebut sebagai suatu hal yang sudah mengakar pada masyarakatnya yang nilai-nilainya sulit diubah.

Persepsi adalah proses yang digunakan individu dalam mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna atas rangsangan eksternal yang diterima. Persepsi didapatkan dengan menyimpulkan informasi yang ia terima, seperti didefinisikan Rakhmat Jalaludin (1998) Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Budaya memiliki pengaruh besar pada cara pandang dan persepsi seseorang pada hal-hal yang dia lihat, rasakan dan alami. Nilai-nilai moral dan etiket suatu masyarakat bervariasi, bergantung pada budaya yang memberikan masyarakat tersebut suatu pengertian yang diterima secara luas dan mutlak dikelompoknya. Melalui nilai-nilai budaya itulah seseorang akan menilai dan mempersepsikan sesuatu sebagai sesuatu yang salah atau sebagai sesuatu yang benar menurut budaya yang ia yakini.

Suatu waktu saya pernah berada satu ruangan dengan seorang pria muda dari Denmark dan seorang gadis dari thailand, kedua orang ini duduk berhadap-hadapan. Pria Denmark ini kemudian meluruskan kakinya, sehingga tanpa sengaja dasar sepatunya terlihat jelas oleh si gadis Thailand, reflek gadis ini menunjukkan ekspresi ketidaknyamanan, ketika saya tanya apa yang terjadi, dia menjelaskan bahwa menaruh kaki dimana telapak kaki menghadap ke arah orang lain di Thailand dianggap sebagai perbuatan yang tidak sopan.

Kasus lainnya adalah ketika saya diminta untuk memanggil seseorang yang berasal dari negara lain yang usianya hampir menyamai usia ibu saya dengan langsung menyebutkan nama beliau. Di budaya kita, memanggil orang yang lebih tua meskipun kita sudah akrab dengannya kita tetap memanggil mereka dengan sebutan tertentu seperti Kakak, Mbak, Mas, Abang, Teteh atau Pak dan Bu. Saya ingat ketika saya tidak bisa leluasa bicara dengannya karena ‘kagok’ untuk menyebutkan namanya secara langsung, saya merasa memanggil seseorang tanpa awalan apapun (khususnya bagi mereka yang saya tuakan) terdengar sangat salah dan tidak sopan meski orang tersebut tidak merasa bahwa hal itu salah.

Masih banyak contoh lainnya dimana prilaku seseorang akan dianggap aneh atau tidak biasa bahkan dianggap salah karena hal itu dianggap tidak sesuai dengan budaya yang dianut oleh si pemberi penilaian. Salah paham persepsi juga bisa muncul karena perbedaan bahasa. Sebagai contoh, kata ‘gedang’ dalam bahasa sunda gedang berarti pisang, dan dalam bahasa jawa gedang berarti pepaya. Atau melalui gesture nonverbal, seperti dengan membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jari yang dibeberapa budaya diartikan sebagai ‘Okay’, di Jepang berarti ‘uang’, di Perancis Selatan memiliki arti ‘tidak bernilai’ dan bahkan ada pula yang menginterpretasikannya sebagai hinaan..

Seorang guru yang saya kenal pernah mengalami hal serupa. Suatu masa diawal karir mengajarnya dia memiliki salah seorang murid dari Vietnam, suatu ketika sang guru meminta anak ini untuk mengerjakan soal didepan, sang guru menunjuk anak ini dengan menggunakan telunjuknya yang ternyata dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas oleh anak didiknya. Anak tersebut yang merasa tersinggung mengadukan hal tersebut kepada orangtuanya dan perselisihan tidak dapat terhindarkan.

Kultur yang berbeda memiliki cara yang berbeda dalam mengartikan tampilan emosi. Mungkin beberapa berteriak, marah, takut, menangis dan menunjukkan reaksi lainnya secara lebih eksplisit, sementara ada pula kultur yang menjadikan seseorang harus menjaga dan menutupi emosi dan perasaannya. Setiap kultur juga memiliki standar yang berbeda mengenai intonasi, volume suara, cara merespon dan kecepatan penyampaian yang tidak jarang menimbulkan salah paham dalam pembicaraan yang melibatkan orang-orang dari kultur yang berbeda.

Begitu juga dengan cara seseorang menyapa, bersentuhan, makan, dan berpakaian dari suatu daerah bisa diartikan lain oleh orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Tentu saja hal ini tidak bisa kita hindarkan. Suatu hal mungkin dianggap positif disuatu budaya, namun juga bisa dianggap negatif, suatu hal bisa dianggap sepele oleh seseorang, tapi bisa juga menjadi masalah yang sangat diperhatikan oleh adat kebiasaan lain

Pada dasarnya apapun yang kita lakukan pasti akan mengundang orang lain untuk melakukan penilaian kepada kita. Kata pepatah “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung” mungkin bisa menjadi pedoman untuk kita dalam bersikap ketika kita berada didaerah dengan budaya yang berbeda. Alangkah baiknya bila kita berada disuatu daerah kita turut menghormati budaya di tempat tersebut. Tapi tentu saja hal ini tidak serta merta menyelamatkan kita dari persepsi buruk orang lain. Ya, kita memang tidak mungkin menyenangkan semua orang tapi paling tidak kita sudah berusaha.

Isu rasisme juga tak lepas dari pengaruh budaya terhadap perspektif dan cara pandang seseorang kepada orang lain yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Keyakinan kelompok atau suku-suku tertentu mengenai prilaku dan karakter dari orang-orang yang berasal dari kelompok atau suku lain mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan orang lain. Tentu sering terdengar bahwa bangsa X lebih superior dari bangsa Y, orang dari suku A lebih lebih baik dari suku B atau ketika seseorang lebih memilih teman atau pegawai yang berasal dari negara atau etnis yang sama atau hanya dari etnis-etnis tertentu saja. Karena itulah diskriminasi dan isu-isu rasialis masih marak terjadi dan tentunya banyak dari kita yang pernah mengalaminya meski tak harus selalu memberikan dampak negatif.

Persepsi karena budaya ini memang tidak akan ada habisnya utuk dibahas dan sulit untuk diubah. Meski demikian dengan mengenal lebih dekat dan lebih baik suatu kultur atau pribadi seseorang diharapkan bisa membentuk persepsi yang positif. Perbedaan budaya tidak dapat dihindarkan, dan persepsi adalah salah satu aspek prilaku manusia yang tidak bisa dicegah. Tidak salah mempertahankan budaya yang dimiliki oleh suatu kelompok, namun hendaknya implementasi dari budaya ini juga disertai dengan pikiran yang terbuka. Satu hal yang ingin saya tekankan dari tulisan ini mengenai budaya yang mungkin bisa mengubah sudut pandang dan persepsi kita pada budaya lain “Its not about right or wrong, its just different”. Suatu budaya tidak dapat dinilai dari benar atau salahnya, hanya mungkin berbeda dari yang kita miliki dan yakini. Bisa bayangkan betapa membosankannya dunia ini bila semua orang memiliki budaya da latar belakang yang sama.

Referensi:

http://www.swyaa.org/resources/handbook/Index/Examples%20of%20Cultural%20Differences.html

http://www.cnr.berkeley.edu/ucce50/ag-labor/7article/article01.htm

http://psychcentral.com/news/2007/07/13/culture-influences-perception/1011.html

http://www.cicb.net/en/home/examples/

http://www.cognitionandculture.net/home/blog/27-simons-blog/292-culture-and-perception

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a comment